Orkestra Buddhayana
Paham Buddhayāna bisa diibaratkan sebuah orkestra dimana masing-masing pemain menguasai serta memainkan alat musiknya dengan sempurna. Hanya pada saat setiap pemain menjadi master di alat musik yang dikuasai, pemain gitar menguasai gitarnya, pemain piano menguasai pianonya, pemain drum menguasai drumnya, dan seterusnya, maka “Orkestra Buddhayāna” akan menghasilkan musik yang indah sekali. Para pemain menghormati, menghargai, bersahabat dalam semangat ko-eksistensi damai, satu dengan yang lainnya. Tidak ada perasaan menonjolkan dirinya masing-masing, merasa lebih baik dari yang lain, karena mereka menyadari bahwa keindahan orkestra ini adalah hasil permainan para master alat musik tersebut.
Kita bisa membayangkan apa yang akan terjadi apabila masing-masing pemain tersebut membanggakan permainannya sendiri dan tidak menghormati pemain yang lain, maka musik yang dihasilkannya pun akan sama sekali tidak enak didengar telinga. Kita juga bisa mengerti bahwa musik yang tidak sempurna akan muncul apabila si pemain gitar mencoba memainkan piano, si pemain piano memainkan drum, dan pemain drum memainkan gitar. Musik yang dimainkannya pun akan terdengar sumbang dikarenakan para pemain bukan master di alat musiknya.
Masing-masing pemain orkestra itu menyadari bahwa keindahan musik yang dihasilkan adalah hasil paduan bersama, sehingga tidak ada pemikiran: “Suara gitarku lebih baik dari suara piano dan drum.” Kita tidak bisa membandingkan, misalnya, apakah gitar lebih baik dari piano ataupun drum. Mereka adalah musik yang berbeda dan mempunyai keunikannya sendiri. Di tangan para master, mereka akan bisa menghasilkan suara yang indah di dalam sebuah orkestra.
Gambaran tersebut menjelaskan bagaimana seharusnya semangat Buddhayāna masing-masing sekte harus menghargai satu sama lain, menyadari bahwa semua sekte adalah baik. Sikap demikian akan muncul secara alamiah apabila setiap orang memahami dan menguasai ajaran sektenya masing-masing. Sehingga di dalam Buddhayāna kita akan bisa menemukan Master Theravāda Master Mahāyāna dan Master Tantrayāna (Vajrayāna) yang mampu mengartikulasikan Dhamma dengan sangat indah dan tentu saja bisa menginspirasi banyak orang untuk menempuh Jalan spiritual Buddhist. Bukan sebaliknya, yang beraliran Theravāda, misalnya, tanpa menguasai alirannya, malahan mengajarkan ajaran aliran lain yang tentunya beresiko menghilangkan keindahan Dhamma. Seorang master tidak akan bisa mengatakan bahwa aliran Theravāda, misalnya, lebih baik dari aliran lain karena ia sadar dan mengerti bahwa ajaran tersebut berbeda hanya disebabkan oleh perbedaan sudut pandang dari Dharma yang sama.
Semangat Buddhayāna ini, dimana masing-masing aliran bisa berkumpul dengan damai, mewarisi semangat Buddhisme pada saat sebelum Buddha parinibbāna. Kita percaya bahwa seandainya pun Buddha masih hidup maka semua sekte dalam agama Buddha akan membaur secara harmonis. Seperti keindahan dan keharmonisan musik yang dilahirkan oleh sebuah orkestra dimana semua pemainnya adalah Master di instrumennya masing-masing, demikianlah hendaknya dengan Buddhayāna Sebagai sebuah 'orkestra', Buddhayāna harus mampu melahirkan para praktisi yang mampu mengartikulasikan Dhamma dengan indah dan penuh keharmonisan. Semua aliran bisa duduk, belajar dan berlatih bersama dengan damai, tanpa menonjolkan alirannya masing-masing dan tanpa pertengkaran. (Diambil dengan sedikit perbaikan dari buku Buddhayana Values, hal.48, catatan kaki No.47)
Kita bisa membayangkan apa yang akan terjadi apabila masing-masing pemain tersebut membanggakan permainannya sendiri dan tidak menghormati pemain yang lain, maka musik yang dihasilkannya pun akan sama sekali tidak enak didengar telinga. Kita juga bisa mengerti bahwa musik yang tidak sempurna akan muncul apabila si pemain gitar mencoba memainkan piano, si pemain piano memainkan drum, dan pemain drum memainkan gitar. Musik yang dimainkannya pun akan terdengar sumbang dikarenakan para pemain bukan master di alat musiknya.
Masing-masing pemain orkestra itu menyadari bahwa keindahan musik yang dihasilkan adalah hasil paduan bersama, sehingga tidak ada pemikiran: “Suara gitarku lebih baik dari suara piano dan drum.” Kita tidak bisa membandingkan, misalnya, apakah gitar lebih baik dari piano ataupun drum. Mereka adalah musik yang berbeda dan mempunyai keunikannya sendiri. Di tangan para master, mereka akan bisa menghasilkan suara yang indah di dalam sebuah orkestra.
Gambaran tersebut menjelaskan bagaimana seharusnya semangat Buddhayāna masing-masing sekte harus menghargai satu sama lain, menyadari bahwa semua sekte adalah baik. Sikap demikian akan muncul secara alamiah apabila setiap orang memahami dan menguasai ajaran sektenya masing-masing. Sehingga di dalam Buddhayāna kita akan bisa menemukan Master Theravāda Master Mahāyāna dan Master Tantrayāna (Vajrayāna) yang mampu mengartikulasikan Dhamma dengan sangat indah dan tentu saja bisa menginspirasi banyak orang untuk menempuh Jalan spiritual Buddhist. Bukan sebaliknya, yang beraliran Theravāda, misalnya, tanpa menguasai alirannya, malahan mengajarkan ajaran aliran lain yang tentunya beresiko menghilangkan keindahan Dhamma. Seorang master tidak akan bisa mengatakan bahwa aliran Theravāda, misalnya, lebih baik dari aliran lain karena ia sadar dan mengerti bahwa ajaran tersebut berbeda hanya disebabkan oleh perbedaan sudut pandang dari Dharma yang sama.
Semangat Buddhayāna ini, dimana masing-masing aliran bisa berkumpul dengan damai, mewarisi semangat Buddhisme pada saat sebelum Buddha parinibbāna. Kita percaya bahwa seandainya pun Buddha masih hidup maka semua sekte dalam agama Buddha akan membaur secara harmonis. Seperti keindahan dan keharmonisan musik yang dilahirkan oleh sebuah orkestra dimana semua pemainnya adalah Master di instrumennya masing-masing, demikianlah hendaknya dengan Buddhayāna Sebagai sebuah 'orkestra', Buddhayāna harus mampu melahirkan para praktisi yang mampu mengartikulasikan Dhamma dengan indah dan penuh keharmonisan. Semua aliran bisa duduk, belajar dan berlatih bersama dengan damai, tanpa menonjolkan alirannya masing-masing dan tanpa pertengkaran. (Diambil dengan sedikit perbaikan dari buku Buddhayana Values, hal.48, catatan kaki No.47)